PEMIKIRAN FILSAFAT MUHAMMAD IQBAL
PEMIKIRAN FILSAFAT MUHAMMAD IQBAL
Ditulis untuk memenuhi tugas matakuliah FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
Yang dibimbing oleh: Drs.Ainur Rafik,M.Ag
Di susun
oleh:
Mimin fitriatus solihah
Siti Nur Aida
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FALAH
AS-SUNNIYYAH
KONCONG-JEMBER
NOVEMBER 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Muhammad Iqbal.
Ia adalah setitik zarah di lautan semesta yang jiwanya senantiasa dalam keadaan
resah. Jutaan manusia pelbagai bangsa pernah turut menyaksikan keresahannya di
dalam ribuan bait syair yang ia tulis.
Sosoknya memang
fenomenal. Lebih dari siapa pun, Iqbal telah merekonstruksi sebuah bangunan
filsafat Islam yang dapat menjadi bekal individu-individu Muslim dalam
mengantisipasi peradaban Barat yang materialistik ataupun tradisi Timur yang
fatalistik. Jika diterapkan maka konsep-konsep filosofis Iqbal akan memiliki
implikasi-implikasi kemanusiaan dan sosial yang luas
Perumusan
masalah
·
Riwayat hidup tokoh dan karya-karyanya
·
Pemikiran filsafat Muhammad ikbal
Tujuan
·
Supaya
mahasiswa mengetahui tentang biografi filosof muhammad iqbal
·
Mengetahui
karya-karya Muhammad ikbal
·
Mengetahui
pemikiran filsafat Muhammad Ikbal
BAB II
PEMBAHASAN
A.Riwayat hidup Muhammad ikbal dan Karya-karyanya
Muhammad Iqbal
(1877-1938 M) lahir di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan (sekarang), 9 Nopember
1877M, dari keluarga yang religius. Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh
sufi, sedang ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai muslimah yang salehah.
Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, di Sialkot, di bawah
bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian di
Goverment College, di Lahore, sampai mendapat gelas BA, tahun 1897, dan meraih
gelar Master dalam bidang filsafat, tahun 1899, dibawah bimbingan Sir Thomas
Arnold, seorang orientalis terkenal. Selama pendidikan ini, Iqbal menerima
beasiswa dan dua medali emas karena prestasinya dalam bahasa Arab &
Inggris2
Iqbal kemudian menjadi dosen di Goverment College dan mulai menulis syair-syair dan buku. Akan tetapi, di sini tidak dijalani lama, karena pada tahun 1905, atas dorongan Arnold, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studi di Trinity College, Universitas Cambridge, London, sambil ikut kursus advokasi di Lincoln Inn. Di lembaga ini ia banyak belajar pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian. Juga sering diskusi dengan para pemikir lain serta mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman mengikuti kuliah selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian mengantarkannya meraih gelar doctoris philosophy gradum, gelar doctor dalam bidang filsafat pada Nopember 1907, dengan desertasi The Development of Metaphysics in Persia, di bawah bimbingan Hommel.
Selanjutnya, balik ke
London untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of Political
Science3.Yang penting dicatat dalam kaitannya dengan gagasan seni Iqbal adalah
tren pemikiran yang berkembang di Eropa saat itu. Menurut MM Syarif, masyarakat
Jerman, saat Iqbal tinggal di sana, sedang berada dalam cengkeraman filsafat
Nietzsche (1844-1990 M), yakni filsafat kehendak pada kekuasaan. Gagasannya
tentang manusia super (superman) mendapat perhatian besar dari para pemikir
Jerman, seperti Stefen George, Richard Wagner dan Oswald Spengler. Hal yang
sama terjadi juga di Perancis, berada dibawah pengaruh filsafat Henri Bergson
(1859-1941 M), élan vital, gerak dan perubahan. Sementara itu, di Inggris,
Browning menulis syair-syair yang penuh dengan kekuatan dan Carlyle menulis
karya yang memuji pahlawan dunia. Bahkan, dalam beberapa karyanya, Lloyd Morgan
dan McDougall, menganggap tenaga kepahlawanan sebagai essensi kehidupan dan
dorongan perasaan keakuan (egohood) sebagai inti kepribadian manusia. Filsafat
vitalitis yang muncul secara simultan di Eropa tersebut memberikan pengaruh
yang besar pada Iqbal4.
Selanjutnya, saat di London yang kedua kalinya, Iqbal sempat ditunjuk sebagai guru besar bahasa dan sastra Arab di Universitas London, menggantikan Thomas Arnold. Juga diserahi jabatan ketua jurusan bidang filsafat dan kesusastraan Inggris di samping mengisi ceramah-ceramah keislaman. Ceramahnya di Caxton Hall, yang pertama kali diadakan, kemudian disiarkan mass media terkemuka Inggris. Namun, semua itu tidak lama, karena Iqbal lebih memilih pulang ke Lahore, dan membuka praktek pengacara di samping sebagai guru besar di Goverment College Lahore. Akan tetapi, panggilan jiwa seninya yang kuat membuat ia keluar dari profesi tersebut. Ia juga menolak ketika ditawari sebagai guru besar sejarah oleh Universitas Aligarh, tahun 1909. Iqbal lebih memilih sebagai penyair yang kemudian mengantarkannya ke puncak popularitas sebagai seorang pemikir yang mendambakan kebangkitan dunia Islam5.
Selanjutnya, saat di London yang kedua kalinya, Iqbal sempat ditunjuk sebagai guru besar bahasa dan sastra Arab di Universitas London, menggantikan Thomas Arnold. Juga diserahi jabatan ketua jurusan bidang filsafat dan kesusastraan Inggris di samping mengisi ceramah-ceramah keislaman. Ceramahnya di Caxton Hall, yang pertama kali diadakan, kemudian disiarkan mass media terkemuka Inggris. Namun, semua itu tidak lama, karena Iqbal lebih memilih pulang ke Lahore, dan membuka praktek pengacara di samping sebagai guru besar di Goverment College Lahore. Akan tetapi, panggilan jiwa seninya yang kuat membuat ia keluar dari profesi tersebut. Ia juga menolak ketika ditawari sebagai guru besar sejarah oleh Universitas Aligarh, tahun 1909. Iqbal lebih memilih sebagai penyair yang kemudian mengantarkannya ke puncak popularitas sebagai seorang pemikir yang mendambakan kebangkitan dunia Islam5.
Akhir tahun 1926, Iqbal
masuk kehidupan politik ketika dipilih menjadi anggota DPR Punjab. Bahkan,
tahun 1930, ia ditunjuk sebagai presiden sidang Liga Muslim yang berlangsung di
Allahabad, yang menelorkan gagasan untuk mendirikan negara Pakistan sebagai
alternatif atas persoalan antara masyarakat muslim dan Hindu. Meski mendapat
reaksi keras dari para politisi, gagasan tersebut segera mendapat dukungan dari
berbagai kalangan, sehingga Iqbal diundang untuk menghadiri Konferensi Meja
Bundar di London, tahun 1932, juga konferensi yang sama pada tahun berikutnya,
guna membicarakan gagasan tersebut. Tahun 1935 ia diangkat sebagai ketua Liga
Muslim cabang Punjab dan terus berkomunikasi dengan Ali Jinnah. Namun, pada
tahun yang sama, ia mulai terserang penyakit, dan semakin parah sampai
mengantarkannya pada kematian, tanggal 20 April 19386.
Iqbal mewariskan banyak
karya tulis, berbentuk prosa, puisi, jawaban atas tanggapan orang atau kata
pengantar bagi karya orang lain. Kebanyakan karya-karya ini menggunakan bahasa
Persia, semua ia maksudkan agar karyanya bisa diakses oleh dunia Islam, tidak
hanya masyarakat India. Sebab, saat itu, bahasa Persi adalah bahasa yang
dominan di dunia Islam dan dipakai masyarakat terpelajar. Karya-karyanya,
antara lain, The Development of Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di
London, 1908), Asra-I Khudi (Lahore, 1916, tentang proses mencapai insan kamil)
Rumuz-I Bukhudi (Lahore, 1918), Javid Nama (Lahore, 1932), The Reconstruction
of Religious Thought in Islam (London, 1934), Musafir (Lahore, 1936), Zarb-I
Kalim (Lahore, 1937), Bal-I Jibril (Lahore, 1938), dan Letters and Writings of
Iqbal (Karachi, 1967, kumpulan surat dan artikel Iqbal)
B.Pemikiran
filsafat Muhammad ikbal
Methafisika
Dalam pemikiran
filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu
beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan
manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan
kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju
kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu,
kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk
menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal
ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus
menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera,
daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut.
Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita
dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi
dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari
ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut7.
Kendati mengumandangkan
misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego
kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala
pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat). Ketika Iqbal meramu
postulat, “Saya berbuat, karena itu saya ada (I act, therefore I exist)”,
membedakannya dengan pemikir Muslim terdahulu yang banyak terjebak kenikmatan
“asketisme di sana “.
Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal diistilahkan dengan “kesadaran mistis” dan tentunya sangat bertentangan dengan “kesadaran profetik”. Kesadaran mistik adalah istilah yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep wahdah al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia dengan menafikan kehendak pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas kreatif menjadi tidak terlihat dalam hidup keseharian. Sedangkan, kesadaran profetik adalah sebuah cara mengembangkan kesadaran melalui aktivitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif manusia adalah aktivitas Ilahi.
Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal diistilahkan dengan “kesadaran mistis” dan tentunya sangat bertentangan dengan “kesadaran profetik”. Kesadaran mistik adalah istilah yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep wahdah al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia dengan menafikan kehendak pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas kreatif menjadi tidak terlihat dalam hidup keseharian. Sedangkan, kesadaran profetik adalah sebuah cara mengembangkan kesadaran melalui aktivitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif manusia adalah aktivitas Ilahi.
Jadi, konsep wahdah
al-wujud dalam perspektif Iqbal adalah pengidentifikasian keinginan pribadi dengan
kehendak Tuhan melalui cara penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak
manusia pada posisi demikian menjadi otonom, tetapi tetap dalam koridor
bimbingan Ilahi. Iqbal tidak serta merta mengakui kedaulatan postulat milik
Descartes, cogito ergo sum, karena eksistensi manusia tidak ada hanya dengan
melakukan kegiatan berpikir untuk mengeksiskan diri. Intelektualisme yang hanya
mendewakan rasionalitas tidak akan eksis tanpa ada aktivisme yang berdimensi
praktis.
Estetika
Berdasarkan konsep
kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah,
Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi
seni –sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal— harus muncul dari
sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau
bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh
kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia (penanggap)8. Seni yang
tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam.
Karena itu, Iqbal
memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan
karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam
citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan
kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan
sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakan
semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan
sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena
itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau
dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk
lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Dalam pemikiran
filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni
bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip
universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga
harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi
lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi kehidupan9. Dengan
menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus
mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi yang hidup dalam diri
manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan Tuhan. Mari kita lihat
syairnya.Kedua, berkaitan dengan pertama, kreatifitas tersebut bukan sekedar
membuat sesuatu tetapi harus benar-benar menguraikan jati diri sang seniman,
sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi), dari karya
seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta
bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus
menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar
menggambarkan ‘apa yang ada’ (Azzam, 1985, 141). Dalam salah satu puisinya,
Iqbal mengecam dan menyebut sebagai kematian terhadap seni Timur yang meniru
seni Barat.
Konsep-konsep seni dan
keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce
(1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya,
seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak
mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku
kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan
perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu,
baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian
diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut
membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh
sang seniman10.
Dengan pernyataan
seperti ini, mengikuti Syarif, teori Croce berarti terdiri atas empat hal,
·
bahwa seni adalah kegiatan
yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis,
·
bahwa kegiatan seni
berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas
pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam
bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan
analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif.
·
bahwa kegiatan seni
ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman,
·
bahwa apresiasi adalah
penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri penanggap.
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce
tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan
keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali
moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni –betatapun ekspresifnya
kepribadian sang seniman— kecuali jika mampu menimbulkan nilai-nilai yang
cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi
peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan
seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga fungsional.
Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau
masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung
serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya
sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap
kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi
budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat: “Akan tetapi terpulanglah kepada kalian dan peradaban tanpa agama yang menghadapi pertarungan yang berkepanjangan dengan al-Hak. Sesungguhnya malapetaka ini telah menghasilkan bencana yang besar kepada dunia seperti kembalinya al-Latta dan al-Uzza (keberhalaan) ke Tanah Haram Mekah, dimana hati manusia menjadi buta dengan sihirnya dan jiwa menjadi mati. Ia telah memadamkan cahaya hati atau menghilangkan hati dari pemiliknya. Ia juga telah mengubah siang yang terang benderang dengan meninggalkan insan tanpa roh dan tanpa nilai apa-apa lagi”.
“Walaupun ilmu pengetahuan berkembang dan perusahaan maju di Eropa, namun lautan kegelapan memenuhi kehidupan mereka.Sesungguhnya ilmu pengetahuan, hikmah, politik dan pemerintahan yang berjalan di Eropa tidak lebih dari ketandusan dan kekeringan. Perkembangan itu telah mengorbankan darah rakyat dan jauh sekali dari arti nilai kemanusiaan dan keadilan. Apa yang terjadi ialah kemungkaran, meminum arak dan kemiskinan terbentang luas di negeri mereka. Inilah akibat yang menimpa umat manusia yang tidak tunduk kepada undang-undang Samawi ciptaan Ilahi. Inilah dia negeri-negeri yang hanya berbangga dengan terang benderang cahaya listrik dan teknologi modern. Dan sesungguhnya negeri-negeri yang dikuasai oleh alat-alat dan industri ini telah memusnahkan hati-hati manusia dan membunuh kasih sayang, kesetiaan dan makna kemanusiaan yang mulia”.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat: “Akan tetapi terpulanglah kepada kalian dan peradaban tanpa agama yang menghadapi pertarungan yang berkepanjangan dengan al-Hak. Sesungguhnya malapetaka ini telah menghasilkan bencana yang besar kepada dunia seperti kembalinya al-Latta dan al-Uzza (keberhalaan) ke Tanah Haram Mekah, dimana hati manusia menjadi buta dengan sihirnya dan jiwa menjadi mati. Ia telah memadamkan cahaya hati atau menghilangkan hati dari pemiliknya. Ia juga telah mengubah siang yang terang benderang dengan meninggalkan insan tanpa roh dan tanpa nilai apa-apa lagi”.
“Walaupun ilmu pengetahuan berkembang dan perusahaan maju di Eropa, namun lautan kegelapan memenuhi kehidupan mereka.Sesungguhnya ilmu pengetahuan, hikmah, politik dan pemerintahan yang berjalan di Eropa tidak lebih dari ketandusan dan kekeringan. Perkembangan itu telah mengorbankan darah rakyat dan jauh sekali dari arti nilai kemanusiaan dan keadilan. Apa yang terjadi ialah kemungkaran, meminum arak dan kemiskinan terbentang luas di negeri mereka. Inilah akibat yang menimpa umat manusia yang tidak tunduk kepada undang-undang Samawi ciptaan Ilahi. Inilah dia negeri-negeri yang hanya berbangga dengan terang benderang cahaya listrik dan teknologi modern. Dan sesungguhnya negeri-negeri yang dikuasai oleh alat-alat dan industri ini telah memusnahkan hati-hati manusia dan membunuh kasih sayang, kesetiaan dan makna kemanusiaan yang mulia”.
Selanjutnya kata Iqbal, gerakan perkembangan ilmu
pengetahuan dan rasionalisasi yang berlangsung dikalangan peradaban Barat tidak
hanya membawa bahaya bagi bangsa mereka sendiri. Perkembangan teknologi
informasi di era modern telah membawa kerusakan ini merasuki negeri-negeri
Islam, yang merusak kejiwaan dan spritual umat Islam. Bagaimanapun, apa yang
dikhawatirkan ialah munculnya gejala kebekuan dan kelumpuhan di kalangan umat
Islam itu sendiri.
Dalam pengulasan lebih lanjut, Iqbal secara berani
mengeluarkan pernyataan: “Perkembangan Eropa itu sebenarnya tidak pernah
memasuki kehidupan kemasyarakatan dalam bentuk yang amali dan hidup. Apa yang
mereka slogankan dengan konsep demokrasi hanyalah pembahasan ilmiah, tetapi apa
yang sebenarnya adalah penimbunan kekayaan golongan hartawan di atas air mata
golongan fakir miskin”.
Justru bagi Iqbal, hanya Islam yang mampu
menyelesaikan semua permasalahan manusia. Ini karena kaum Muslimin memiliki
pemikiran dan akidah yang kukuh dan sempurna – diasaskan atas petunjuk wahyu
(al-Quran; S 3 : 110). Pemikiran dan pegangan yang kukuh ini dapat menjadi
solusi kepada pelbagai problem kehidupan karena mempunyai kekuatan sama ada
dari segi rohani maupun jasmani.
Di sisi lain, Islam mengandung kekuatan yang mampu menangani semua permasalahan hidup manusia disebabkan sistem hidupnya yang bersandarkan kepada keimanan dan keagamaan. Dalam waktu yang sama Islam juga mendukung prinsip kebebasan, keadilan sesama manusia dalam kelompok sosialnya (al-Quran; S 4 : 36). Oleh karena itu ia mendorong manusia untuk melaksanakan ajaran Islam demi tercapainya tujuan tersebut.
Di sisi lain, Islam mengandung kekuatan yang mampu menangani semua permasalahan hidup manusia disebabkan sistem hidupnya yang bersandarkan kepada keimanan dan keagamaan. Dalam waktu yang sama Islam juga mendukung prinsip kebebasan, keadilan sesama manusia dalam kelompok sosialnya (al-Quran; S 4 : 36). Oleh karena itu ia mendorong manusia untuk melaksanakan ajaran Islam demi tercapainya tujuan tersebut.
Adapun peraturan ciptaan manusia telah gagal
mengemukakan gagasan penyelesaian dan mengangkat derajat kemanusian kerana ia
bersifat lemah (sementara).
Dunia yang selama ini ditafsirkan dari pendekatan materialisme adalah dunia yang buta dan kosong. Apa yang bergerak selama ini adalah gerakan tanpa nilai dan tanpa memiliki apa-apa tujuan. Berbeda sekali dengan pendekatan al-Quran terhadap kejadian alam, di mana dunia dan alam menurut ajaran Islam adalah berasaskan kepada kebenaran dan keadilan (al-Quran; S 4 : 135, S 6 : 153 dan S 16 : 90).
Sesungguhnya, gagasan pemikiran yang diberikan oleh Iqbal telah memberikan harapan yang baik kepada Islam di masa depan . Bagaimanapun, apa yang diragukan hanyalah, sejauh manakah perlaksanaan Islam dalam kehidupan masyarakatnya pada waktu ini?. Adakah Islam yang hakiki terwujud dikalangan umatnya atau hanya sekadar dari aspek syiar semata-mata?.
Dunia yang selama ini ditafsirkan dari pendekatan materialisme adalah dunia yang buta dan kosong. Apa yang bergerak selama ini adalah gerakan tanpa nilai dan tanpa memiliki apa-apa tujuan. Berbeda sekali dengan pendekatan al-Quran terhadap kejadian alam, di mana dunia dan alam menurut ajaran Islam adalah berasaskan kepada kebenaran dan keadilan (al-Quran; S 4 : 135, S 6 : 153 dan S 16 : 90).
Sesungguhnya, gagasan pemikiran yang diberikan oleh Iqbal telah memberikan harapan yang baik kepada Islam di masa depan . Bagaimanapun, apa yang diragukan hanyalah, sejauh manakah perlaksanaan Islam dalam kehidupan masyarakatnya pada waktu ini?. Adakah Islam yang hakiki terwujud dikalangan umatnya atau hanya sekadar dari aspek syiar semata-mata?.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Muhammad Iqbal
merupakan sosok pemikir multidisiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber
internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik,
filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya,
Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam demi kemajuan kaum
muslimin.
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya.
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh sebab itu, Islam
dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah Islam memberi jawaban
yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?.
Iqbal tidaklah menetapkan suatu pandangan praktis dalam filsafatnya, namun ia berusaha mengugah cara pandang kaum muslimin yang selama ini terjebak dalam cara pandang yang statis dalam memandang dunia. Namun karena kehidupan manusia yang cendrung dinamis malah menjadikan umat Islam menjadi pembebek terhadap Bangsa Barat, dengan menanggalkan baju keislaman mereka. Dari sinilah Iqbal merekonstruksi paradigma kaum muslimin agar mampu hidup dalam dinamika kehidupan yang normal namun tetap dalam koridor sebagai seorang muslim yang mengabdi kepada Tuhannya.
Iqbal tidaklah menetapkan suatu pandangan praktis dalam filsafatnya, namun ia berusaha mengugah cara pandang kaum muslimin yang selama ini terjebak dalam cara pandang yang statis dalam memandang dunia. Namun karena kehidupan manusia yang cendrung dinamis malah menjadikan umat Islam menjadi pembebek terhadap Bangsa Barat, dengan menanggalkan baju keislaman mereka. Dari sinilah Iqbal merekonstruksi paradigma kaum muslimin agar mampu hidup dalam dinamika kehidupan yang normal namun tetap dalam koridor sebagai seorang muslim yang mengabdi kepada Tuhannya.
Daftar Pustaka
·
Muhammad Iqbal. Drs.,
“Rekonstruksi Pemikran Islam”, Kalam Mulia, 1994, hal. 126
·
Mukti Ali, “Alam
Pikiran Islam Modern di India & Pakistan”. Mizan. 1998. Hal. 174
·
Bilgrami, “Iqbal
Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya”, terj. Djohan Effendi. Bulan
Bintang. 1982. Hal. 16
·
Syarif, “Iqbal tentang
Tuhan dan Keindahan”, terj. Yusuf Jamil. Mizan. 1993. Hal. 99
·
Ali Mudhaffir. “Kamus
Teori & Aliran dalam Filsafat”. Liberty. 1988. Hal. 100
·
Syarif, “Iqbal tentang
Tuhan dan Keindahan”, terj. Yusuf Jamil. Mizan. 1993. Hal. 131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar