MAKALAH
“IJTIHAD”
DISUSUN
OLEH
Kelompok
3
Asep Hardianto : 1611270003
Sinta Sarjana : 1611270014
Wisnu Hibatulloh Fattah : 1611270020
Junita Kartika Sari : 1611270021
Dosen
Pembimbing :
Azizah Aryati
FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat, berkah, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Ijtihad Dan Dinamika Pemikiran Islam”.
Makalah ini disusun guna memberikan informasi tambahan
mengenai perspektif Ijtihad yang sesuai dengan hukum syara’ dalam Islam dengan
berbagai macam pendapat beberapa ulama fuqaha. Serta mengenai berbagai ruang
lingkup dari Ijtihad itu sendiri. Makalah ini juga untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pengantar Studi Islam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
sumbernya berupa artikel dan tulisan telah penulis jadikan referensi guna
penyusunan makalah ini, semoga dapat terus berkarya guna menghasilkan
tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi masa depan yang lebih baik.
Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna
bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, banyak kekurangan dan kesalahan.Penulis menerima kritik dan saran
yang membantu guna penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
DAFTAR
ISI...................................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.........................................................................................................................1
B. Rumusan
Masalah...................................................................................................................1
C. Tujuan
Penulisan.....................................................................................................................1
D. Manfaat
Penulisan....................................................................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad........................................................................................................................3
B. Dasar-Dasar
Ijtihad.....................................................................................................................4
C. Lapangan Ijtihad..........................................................................................................................4
D. Hukum
Ijtihad.............................................................................................................................5
E. Macam-Macam
Ijtihad................................................................................................................5
F. Urgensi Dan Kedudukan
Ijtihad..................................................................................................5
G. Metode
Ijtihad.............................................................................................................................6
H. Syarat-Syarat Mujtahid...............................................................................................................7
I. Tingkatan
Mujtahid......................................................................................................................8
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................................................10
B.
Saran..........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut
agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam kotbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah.
Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang
disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena memerlukan
penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara
sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas
oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad
terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh
dalam berdo’a. Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para
pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu
sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan di atas,
kita sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu yaitu dengan
cara melaksanakan ijtihad.
II. Rumusan Masalah
Makalah ini terfokuskan pada enam masalah yang
akan dibahas penulis yaitu :
1.
Definisi Ijtihad
2.
Persoalan Ijtihad
3.
Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
4.
Syarat-syarat Mujtahid
5.
Wilayah Mujtahid
6.
Sebab-sebab yang Menimbulkan Perbedaan Hasil Ijtihad
III. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk memberikan pemahaman kepada kita semua
mengenai makna yang sesungguhnya mengenai Ijtihad dalam perspektif Islam yang
benar dan sesuai dengan syara’.
2.
Untuk memberikan Penjelasan mengenai seluruh ruang
lingkup persoalan ijtihad.
3.
Untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai
Urgensi dan kedudukan Ijtihad dalam kehidupan sehari-hari
4.
Untuk memberikan penjelasan mengenai
syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid serta wilayah dari seorang
mujtahid.
5.
Untuk menjelaskan dari sebab-sebab yang
menimbulkan perbedaan dari hasil ijtihad.
IV. Manfaat Penulisan
Manfaat
dari penulisan makalah ini :
1.
Dapat mengarahkan kita pada penguasaan materi
mengenai Ijtihad
2.
Dapat memberikan informasi tambahan mengenai
persoalan dari syarat-syarat mujtahid dan ruang lingkupnya.
BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD
SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah
yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz
yang ‘am-khash, mutlaq-muqayyad, nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang
memerlukan penjelasan.
Sementara
itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan
dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (Al-wahyu
qad intaha wal Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha
penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad menjadi sangat penting.
A.
PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata
ja-ha-da. Menurut Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi.Kata ini pun berarti
kesanggupan (Al-Wus), kekuatan (Al-Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah).
Kata
ijtihad secara bahasa, menurut Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi menjelaskan
bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
بذل وسعه
وطاقته فى طلبة ليبلغ مجهوده ويصل الى نهايته
”Pengesahan
kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya
sampai pada ujung yang ditujunya.”
Menurut
Asy-Syaukani , arti secara etimologi, ijtihad adalah:
عبارة عن
الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan
mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja”
Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian
ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur
(24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.[1]
Semua
kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa
al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi
al-yamin).
Dalam
sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
“pada
waktu sujud” dan hadist lain yang artinya “rosul Allah SAW” para ulama
bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara
istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa sahabat.
Menurut
Abu Zahrah, secara istilah arti ijtihad adalah:
بذل
الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصلية
”Upaya
seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah
yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.
Menurut Al-Amidi
yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
استفرغ
الوسع فى طلب الظن من الاحكام الشرعية
“Pengerahan
segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara’
”.
Definisi
ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada
bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran.
Ijtihad berkenaan dengan dalil dzhonni berbeda dengan Husen, Harun Nasution
menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad
dalam pengertian sempit.
Dalam
arti luas menurut Harun Nasution dan Ibrahim Abbas Al-Dzarwi, mendefinisikan
ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasyawuf dan filsafat,.
Menurut
Fakhruddin ijtihad adalah pengarahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang
tidak mendatangkan celaan.
Sebagian
ulama ada yang memmpersamakan ijtihad dengan Qiyas, ada pula yang mepersamakan
dengan ra’y. Dari definisi ijtihad seperti digambarkan diatas terlihat beberapa
persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya
adalah pertama terletak pada penggunaan bahasa. Kedua, terletak pada subjek
ijtihad dinisbatkan kepada kata mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan
ijtihad itu tidak hanya bidang fiqh. Ketiga, terletak pada metode ijtihad.
Metode
mangkuli (dari Al-Qur’an dan Sunnah) yaitu metode yang mengikuti (Ittiba’)
sebagian lagi menggunakan metode ma’kuli (berdasarkan Ra’y dan akal). Metode
ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah SAW.
Adapun
persamaannya adalah pertama, hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni. Kedua,
objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi yasitu hukum dengan amaliah
ibadah.[2]
B.
DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan
Sunnah. Diantara ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad.
Adapun
Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya Hadits Amr bin Ash yang
diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda:
اذا حكم
الحاكم فاجتهد فاطاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
“Apabila
seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu
salah maka ia mendapatkan satu pahala” . (HR. Muslim)
C.
LAPANGAN IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah
masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.Adapun
hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bid’ah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i al subut wal dalalah tidaklah
termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong ma’ulima min ad
din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan
Ramadhan.Secara lebih jelas, Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa lapangan
ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh
Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua,
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau
salah satunya (Zhanni Ats Tsubut atau Zhanni Al Adalah).
D.
HUKUM
IJTIHAD
Ulama berpendapat, jika seorang muslim
dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang
berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib
‘ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi
kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi
dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya
maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi
kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi
maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak
ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa.
Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut
maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika
dilakukan atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika
dilakukan atas peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijma’.[3]
E.
MACAM-MACAM IJTIHAD
1.
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi
menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i.
2.
Dilihat dari lapangannya ijtihad dibagi menjadi
tiga macam, yaitu:
· Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nassnya
tapi bersifat zhanni.
·
Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara’ dengan penetapan kaidah kulliyah yang
bisa diterapkan tanpa adanya suatu nass.
·
Ijtihad bi ar-ra’i yaitu ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah
yang telah ditetapkan syara’ untuk menunjuk pada suatu hukum.
F.
URGENSI DAN KEDUDUKAN IJTIHAD
1.
Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah
bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil ijtihad merupakan analisa
akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia sendiri yang relatif, maka
hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa berlaku dan pada saatnya yang
lain bisa tidak berlaku.Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat,
ruang dan waktu.
2.
Dalam ketentuan ini generasi terhadap suatu
masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran diseluruh dunia dalam
berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda. Lungkungan sosial dan
budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah belum tentu berlaku
di daearah lain.
3.
Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi,
akibat dan permasalahan umum (umat)
4.
Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah
ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an
dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah
bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Lebih
lanjut, urgensi ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yang
terbagi atas tiga macam, yaitu :
a.
Fungsi al-ruju’ atau al-i’dah (kembali), yaitu
mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan
sunnah Shahihah dari segala interpretasi yang dimugkinkan kurang relevan.
b.
Fungsi Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan
kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab
dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu menjadi sebagai furqon,
hudan, dan rahmatil lil’alamin.
c.
Fungsi al-Inabah (pembenahan), yakni membenahi
ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan
dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang
kini kita hadapi.
G.
METODE IJTIHAD
1.
QIYAS (mengukur atau membandingkan atau
menimbang dengan menimbangkan sesuatu). Contoh: pada masa nabi ada belum ada
permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam
menentukan zakat.
2.
IJMA’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari
kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua
makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab
itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula
sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan dengan
hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
3.
ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna
aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu menurut
terminologi para ahli hukum, berarti didasarkan atas kepentingan umum atau
kepentingan keadilan, sebagai contoh adalah peristiwa Ummar bin hatab yang
tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa paceklik.
4.
MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang
berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan
umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh
metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dalam ketentuan nash bahwa khamar
dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung
masalahat dan manfaat, didahulukan menolak mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah,
“menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan
apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.
5.
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad
yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Istishab.
H.
SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat
yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad
melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan
tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat
mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai
berikut:
1)
Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau
diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas
2)
Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad
yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu
3)
Mujtahid fih ialah hukum-hukum syari’ah yang
bersifat amali (taqlifi).
4)
Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi
mujtahid fih
Menurut
fakkhr ad-din, Muhammad bin Umar bin Al Husin Ar Razi, syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut:
1.
Mukalaf
2.
Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3.
Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan
sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4.
Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki
Qorinah atau tidak.
bahasa
arab karena Al-Qur’an dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
Berbeda
dengan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad As Syaukani menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai
berikut.
1. Mengetahui Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum
2. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, membahas
dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
3. Mengetahui
nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
I.
TINGKATAN MUJTAHID
Menurut
Muhaimin dkk, terbagi menjadi beberapa tingkatan Mujtahid :
Mujtahid
Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
1)
Mujtahid mutlaq ialah mujtahid yang mampu
menggali hukum-hukum agama dari sumbernya. Mujtahid mutlaq terbagi menjadi
beberapa tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid
madzhab.
2)
Mujtahid mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang
dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar yang ia susun sendiri.
Empat
tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan
Imam Hambali. Kedua mujtahid mutlaq muntasib yaitu mujtahid yang telah mencapai
derajat mutlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri, ia
menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber
pengambilannya. Contoh, Al- Muzami dari madzhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziad
dari madzhab Hanafi mujtahid fi – al madzhab ialah mujtahid yang mampu
mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak atau belum dikeluarkan oleh
madzhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar al tahtawi dalam madzhab Hanafi.
Kelompok
mujtahid ini terbagi dua:
1.
Mujtahid tahkrij
2.
Mujtahid tarjih (mujtahid fatwa).
Tampaknya
untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak
hanya dapat di lakukan oleh perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat
dilakukan secara kelompok (ijtihad jama’i). Artinya sekelompok ulama dengan
disiplin ilmu yang berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad.
Abu
Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu antara lain :
1.
Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam
masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya,
namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh.
2.
Mujtahid fil al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid
yang dalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid karena mereka
mereka berijtihad meng-istinbat-kan hukum pada permasalahan yang tidak ditemukan
dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya.
3.
Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang
kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingkan
berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau
memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan
menggunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya.
Dengan metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai
dan dimana keunggulannya..
B A B III
PENUTUP
A.
K E S I
M P U L A N
Ijtihad merupakan suatu proses pengadilan hukum
islam yaqng berkaitan erat dengan bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan
dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak
terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad hanya berkenaan dengan
dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan dalil yang qhati’, baik
dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan
perbedaan dan adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan
Sunnah. Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau
haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah
peristiwa keinginan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Melihat
persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu.
Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh
setiap orang.
B.
SARAN
Demikian
makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masuh jauh dari kesempurnaaan. Kami
sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami
mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi
kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita
semua. Amin!
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Mukti, 1990,“Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan
Muhammad Iqbal”, Jakarta: PT Bulan Bintang,
Basyir,
Ahmad Azhar, dkk, 1988, “Ijtihad dalam Sorotan”, Bandung: Penerbit
Mizan,
Qardawi,Yusuf,
1987,“ Ijtihad dalam Syariat Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang,
Zuhri,Saifudin,2009,“Ushul
Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam”, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar